Kode Iklan

Sabtu, 04 September 2021

NARARYA KIRANA, SIAPA GERANGAN?

Oleh : Zainollah Ahmad

LUMAJANG memiliki posisi dan peran strategis dalam historisitas sejak era Prasejarah, terutama pada masa Klasik (Hindu-Buddha). Kekuasaan monarki di
Reruntuhan Candi Gedong Putri, Candipuro, Lumajang.

Ujung Timur Jawa, bisa disebut berpusat di Lumajang (dulu Lamajang) dan beberapa kawasan penyangganya. Topografi alam Lumajang dengan hamparan tanah vulkanik yang subur akibat abu erupsi gunung Semeru dan Lemongan, telah menjadi lahan pertanian bagi masyarakat pendukung kebudayaan hidraulik agraris sejak dulu. Simbol alami Lumajang dengan Gunung Mahameru (Semeru) sebagai meru dari Jambhudwipa (India) identik dengan Bhatara Syiwa, dewa tertinggi dalam agama Hindu. Karena Mahameru dianggap pengejawantahan dari Bhatara Syiwa dalam mitologi Hindu Jawa Kuno. Mahameru adalah pusat alam semesta dalam kosmogoni orang India, yang dilingkari oleh tujuh lautan dan tujuh daratan (von Heine-Geldern, 1943). Bisa disimpulkan dalam konsepsi ini, Kerajaan Lamajang yang dipangku Gunung Semeru merupakan replika alam semesta, dan raja yang berkuasa ialah penjelmaan dewa tertinggi yang bertakhta di atas Mahameru.

Inskripsi Mula Malurung bertarikh 1177 Saka (=1255 Masehi) yang ditranskrip oleh epigraf Drs. Boechari, telah menjungkirbalikkan opini kesejarahan Singhasari. Di mana pada mulanya keterangan tentang kerajaan ini banyak bersumber pada Pararaton (Katuturanira Ken Angrok) dan Nagarakretagama. Di antaranya adalah keterangan tentang dinasti Rajasa, yang ternyata banyak bertentangan dengan data prasasti. Misalnya tentang perebutan kekuasaan dan pembunuhan balas dendam dalam keluarga Rajasa sebagaimana yang diceritakan Pararaton. Dalam inskripsi juga disebut bahwa kerajaan diperintah oleh tiga bersaudara berturut-turut, yakni Bhatara Prameswara, Prabu Gunging Bhaya dan Nararyya Tohjaya, sebelum Prabu Seminingrat naik tahta. Jadi sepeninggal Sri Rajasa, Kerajaan Singhasari dibagi dua, sebagian diperintah oleh Sang Anusapati, dan sebagian oleh Gunging Bhaya. Keadaan ini berlangsung hingga tahun 1248, ketika Sang Prabu Seminingrat naik tahta (Muljana, 1983).

Berkat perkawinannya dengan Nararyya Waning Hyun, Seminingrat dikaruniai beberapa anak, ada nama-nama para raja muda (yuwaraja) yang memerintah di beberapa wilayah, termasuk Nararyya Kirana yang memerintah di Lamajang (Lumajang).
Sri Jayawisnuwardhana, Sang Mapanji Seminingrat, menahbiskan Nararyya Kirana sebagai penguasa Lamajang bersama para saudaranya sebagai raja bawahan Kerajaan Tumapel. Prasasti ini terutama untuk menghormati Sri Maharaja Sri Lokawijaya Purusottama Wiraasta Basudewadhipa Anindita Parakrama Murdhaja, dengan nama abhiseka Sri Kertanegara, raja bawahan Kadiri (Muljana, 1983). Dia diangkat bersama para nararyya yang lain di Kadiri, Glang-Glang, Madura, Morono, Hring dan Lewa.

Lamajang adalah sebuah tlatah yang paling terkenal di antara beberapa nama di atas, karena sebelumnya menjadi kawasan penting pasca pemerintahan Airlangga, dengan temuan beberapa prasasti seperti Ranu Kumbala, Tesirejo, Pasrujambe dan sebagainya.
Kerajaan Tumapel memiliki pemerintahan vassal atau negara bagian yang dikenal dengan mandala (provinsi) yang dipercayakan kepada para anggota keluarga kerajaan (family of kingdom) di beberapa daerah di atas. Termasuk di antaranya adalah Lamajang. Namun prasasti Mula Malurung dibuat sebagai penghormatan dalam manusuk (penetapan) sima desa Mula dan Malurug di wilayah Kadiri kepada seorang tokoh bernama Pranaraja. 

Halnya dengan Nararyya Kirana, yang menjadi “bhre” di Lamajang, tidak ada keterangan tertulis siapa sebenarnya sosok ini, apakah laki-laki atau perempuan, memerintah kapan, apa peran signifikan selama ia memerintah di Lamajang. Namanya hanya dipatri dalam tamra prasasti Mula Malurung dan akhirnya dijadikan dasar rujukan untuk menetapkan Hari Jadi Lumajang, tanggal 15 Desember. Keberanian dari para penggali dan pencetus Hari Jadi Lumajang dengan menokohkan Nararyya Kirana, mungkin hanya fokus pada pengunduhan toponimi “Lamajang” saja dengan menafikan nama penguasa pertama “Kota Pisang” ini. Secara implisit, cukup nama Lamajang (awal dari nama Lumajang) saja yang diangkat. Padahal untuk mencari dan menetapkan hari jadi tidak melulu berkutat pada toponimi kota tersebut. Namun lebih pada peran kesejarahan, pride dan menghindari legacy peninggalan kolonial dan sebagainya.

Tokoh Nararyya Kirana dalam inskripsi Mula Malurung dijelaskan sebagai Saksat atmaja nira Nararyya Seminingrat (semata-mata anak dari Nararyya Sri Seminingrat), sama dengan para penguasa di lima tempat lain. Para penguasa di Glang-Glang (Wurawan), Morono, Hering, Lwa, dan Madura, yang memiliki missing link dalam catatan sejarahnya. Semuanya juga serba gelap, tidak ada sumber sekunder semisal babad, serat dan kidung yang menjadi catatan pendukung dari inskripsi Mula Malurung. Jika mengacu kepada leksikografi Jawa Kuna yang ditulis Petrus Joseph Zoetmulder, arti dari "nararya" (nararyya) adalah “yang (paling) mulia di antara orang-orang”. Sedangkan kata kirana bermakna “sorot cahaya, sinar matahari atau bulan”. Namun, pada kebiasaan masyarakat Jawa turun temurun, kirana diidentikkan dengan nama seorang putri atau anak perempuan, dengan kelaziman memberi nama anak perempuan mereka “kirana”. Dalam cerita Panji juga dikenal nama seorang putri Kerajaan Kadiri bernama Dewi Candra Kirana, istri dari Raden Inu Kertapati (Panji Inu Kertapati) dari Kerajaan Jenggala. Jelas nama Kirana mengindikasikan sebagai seorang perempuan. Sehingga ada hipotesis, Nararyya Seminingrat telah menyerahkan wilayah vassal kerajaan Tumapel kepada daerah otonom Lamajang dan Glang-Glang kepada dua orang putrinya, yakni Nararyya Kirana dan Nararyya Turuk Bali (istri Jayakatwang).

Untuk mendukung teori siapa di balik toponim “Lamajang” dengan lahirnya pemerintahan pertama Nararyya Kirana, gender kewanitaan seorang Kirana, “mungkin” merujuk kepada peninggalan arkelogis di Desa Kloposawit, Kecamatan Candipuro, Lumajang, yang disebut dengan Candi Gedhong Putri. Reruntuhan candi dari bahan batu bata kuno (batabang) dan batu cadas andesit ini ditemukan tahun 1897. Menurut catatan arkeolog dari Universitas Gadjah Mada, Gunadi Nitihaminoto (2012), yang meneliti temuan batu vulkanik yang memiliki ukuran beragam, berasal dari letusan Gunung Semeru antara tahun 1600-an, 1885, 1895 dan 11941. Erupsi berupa batuan beku dan padat menjadi penyebab utama kehancuran Candi Gedhong Putri. Nama “gedhong putri” rupanya banyak dikaitkan dengan sosok Nararyya Kirana, meskipun bekas bangunan kuno ini masih diselimuti oleh mitos dan folklor. Tidak ada argumentatif, mengapa reruntuhan peninggalan kuno ini dihubungkan dengan sosok Nararyya Kirana? Mungkinkah untuk meyakinkan masyarakat Lumajang bahwa Nararyya Kirana adalah seorang ratu yang memiliki peran sejarah dengan membangun monumen berupa kedaton atau candi? 

Penguatan Hari Jadi Lumajang (Harjalu) dengan pengukuhan bukti-bukti heuristik memang perlu dan harus, namun bukan berarti mem-fait accompli, mitos dan cerita rakyat (folklor) belaka.
Lumajang pasca Nararyya Kirana diperintah oleh Arya Wiraraja, yang lebih memiliki historisitas yang lebih “ceto welo-welo“ dibanding pendahulunya itu. Wiraraja memiliki peran signifikan dalam pentas sejarah lahirnya kerajaan besar, Majapahit sebagai cikal bakal negara nasional. Banyak sumber-sumber tradisi dan inskripsi mengupas data tekstual sebagai pendukung kesejarahan tokoh yang dianggap kontroversi ini.

Naiknya Arya Wiraraja sebagai penguasa otonom Lamajang - Tiga Juru tidak hanya mendapat dukungan dari para pendukungnya dari Madura dan para sahabatnya, namun juga para petinggi lama di perdikan Lamajang. Artinya, secara sah ia sudah mendapat dukungan politis dari orang-orang, Majapahit dan Lamajang - Tigang Juru itu sendiri. Arya Wiraraja memiliki basis pendukung di daerah kekuasaan barunya, karena leluhurnya adalah seorang pejabat di Lamajang. Terlebih jika memang benar Wiraraja adalah putra daerah Lamajang, dari Dusun Nangka sebagaimana yang dicatat Pararaton. Arya Wiraraja sangat mungkin keturunan dari seorang penguasa Lumajang semasa pemerintahan Nararyya Seminingrat, yakni Nararyya Kirana. Jika bukan keturunan keluarga Tumapel, amat sulit kiranya bagi Wiraraja mendapat akses kekuasaan tinggi di Tumapel dalam masa pemerintahan Kertanegara.
 
Mendukung hipotesa sejarawan M. Dwi Cahyono (2011), menurut pohon silsilah keluarga Tumapel, Arya Wiraraja kemungkinan adalah cucu kandung dari Sri Seminingrat atau Wisnuwardhana mengingat Nararyya Kirana dalam prasasti Mula Malurung dijelaskan sebagai “semata-mata anak dari Sri Seminingrat”. Jika Kirana dan Kertanegara adalah bersaudara, maka Arya Wiraraja tentu saja keponakan sah dari Maharaja Jawadwipa Mandala-Nusantara yang fenomenal ini. Dengan fakta terbarukan ini - meski sudah ada pendapat lama yang menyatakan hipotesa yang kurang lebih 'satu pandangan' - sudah semestinya pengecilan-pengecilan terhadap pribadi seorang Wiraraja (yang diprakarsai babad Pararaton dan sejenisnya ) ini berakhir sampai di sini. Bagaimanapun sebuah babad yang ditulis satu-dua abad pasca sebuah peristiwa terjadi, seringkali bias dan sarat kepentingan penguasa berikutnya.

Pada kesimpulan akhir, sosok Nararyya Kirana adalah missing link, masih misterius dan dianggap kontroversial, dengan begitu sangat mungkin Hari Jadi Lumajang ditinjau ulang (review), karena masih ada celah terbuka untuk menafsir kembali peran kesejarahannya. Terlebih dengan adanya gugatan terhadap hari jadinya, terkait dengan peran dan ketokohan Nararyya Kirana dalam sejarah, dan bukan sekadar pada penggunaan toponimi Lumajang.

Stop Press : BABAD BUMI SADENG


BABAD BUMI SADENG, Mozaik Historiografi Jember, Era Paleolitikum Hingga Imperium

Buku yang memotret jejak sejarah salah satu tlatah di Pojok Timur Jawa sebagai kawasan yg disebut Lansekap Suci. Dalam hal ini Jember telah meretas peradaban (civilization) Paleolitik di Pegunungan Sporadis Selatan (Southern Plateau Zone) yang termasuk kebudayaan paling tua di Jawa Timur. Kawasan ini menyimpan jejak arkeologis purba di Bukit Sadeng dan Gunung Watangan yang terkenal dengan tradisi hematite dalam sistem pemakaman. 

Sedangkan di zona utara lereng Pegunungan Argopuro terdapat deposit arkeologis Era Neolitikum yang terkenal dengan tradisi monolith silinder (batu kenong) dan berbagai bangunan megalit lainnya .

Pada Masa Klasik, Bukit Sadeng di Puger yang kini tergerus tambang gamping dan pabrik semen, diduga tempat bernama Lang-piya, yakni rest area wisata raja di atas gunung. Populer dalam teori kepindahan Holing oleh raja Kiyen pada abad ke-7 Masehi, menurut sejarawan Van der Meulen. Selanjutnya disusul peradaban Buddha Kuno, dalam kajian J. Fontein dengan bukti temuan fenomenal arca-arca Buddha perak, termasuk tinggalan arca Buddha Amarawati di Kotta Blater yang pernah diteliti Pierre Dupont.

Menginjak pada Klasik Madya, nama Sadeng mencuat dan dikenal sebagai rival tangguh Majapahit. Sehingga tahun 1331 Masehi, Rani Tribhuwana Wijayatunggadewi dan Gadjah Mada serta Ra Kembar turun tangan menumpas Sadeng yang mengadakan perlawanan dengan gigih.

Kemudian pasca masuknya Islam ke Jember pada sekitar abad ke-18, kawasan ini dirundung pergolakan panjang dan konflik politik akibat intervensi VOC di Java's Oosthoek. Dimulai dari perebutan hegemoni dan pralaya Blambangan, perang Nusa Barong, tewasnya Adipati Puger, pembangunan basis militer pantai selatan, pemberontakan Aria Galedak hingga eksploitasi kolonial abad ke-19.

Lalu, Jember ternyata memiliki tinggalan arkeologis yg cukup melimpah dan masih tercover jejak-jejaknya meski nyaris musnah.

Publik penyuka sejarah bisa memburu buku ini di toko buku nasional (Gramedia, Gunung Agung, Togamas, dll.nya). Juga bisa didapatkan secara daring di Bukalapak, Tokopedia, Lazada, Shopee, Bukabuku, Bukukita dll.nya.

Penulis        : Zainollah Ahmad
Pengantar   : Drs. Didik Purbandriyo
Tebal buku  : 284 halaman
Kertas isi     : Bookpaper
Penerbit       : Matapadi Pressindo, DIY
 ISBN            : 978-602-1634-38-7
 
#salamliterasi

Kamis, 05 November 2020

STOP PRESS !!

TAHTA DI TIMUR JAWA, Catatan Konflik dan Pergolakan Pada Abad Ke-13 Sampai Abad Ke-16"

Buku ini sudah terbit tahun 2018 dan mencoba eksis di antara karya para sejarawan lainnya. Alhamdulillah, ternyata banyak yang respon dan antusias menyambutnya.
Saya berharap buku ini menjadi bahan kajian kritis ketika memasuki ranah 'uji publik' dan diharapkan sebagai salah satu buku referensi sebagaimana buku sebelumnya.

Bertemakan sejarah tentang Jawa Timur pertama yang beredar untuk masyarakat luas, diterbitkan oleh salah satu penerbit mayor (besar) di Yogyakarta.

Buku ini merekam jejak tentang peristiwa dari sebuah entitas kawasan yang paling gawat pada abad ke-13 hingga 16, yakni Timur Jawa. Zona yang identik dengan 'grand narrative Majapahit' dan selalu menarik untuk dibahas.

Permasalahan tahta sebagai musabab utama dan menjadi persoalan krusial yang tidak kunjung usai selalu mendera Timur Jawa hingga abad ke-16. Meskipun telah runtuh, menurut Dr. Soemarsaid Moertono (2017), Majapahit seolah memiliki 'andaru', 'pulung' yang diakui para raja menitis pada kekuasaan barunya sebagai “rembesing madu, trahing kusuma”. Uniknya, ketika para raja dan pemangku kekuasaan monarki Demak, Mataram, Blambangan, Pasuruan, Panarukan, dan lainnya dengan latar sektarian justru berebut dan mewarisi tradisi suksesi berdarah itu sebagai bagian dari pertaruhan ego dan harga diri.

Di saat kekuasaan itu tergenggam, para penguasa akan berupaya mengepakkan sayap hegemoninya untuk sebuah gengsi dan legitimasi dengan berbagai dalih. Sehingga terjadilah ekspansi, invasi dan penyelesaian akhir konflik dengan perang !

Tidak seperti buku ilmiah sejarah yang pada umumnya rumit, buku ini mudah dicerna karena bahasanya lugas dan diracik dengan 'bumbu' sederhana, meskipun dari beberapa catatan asing. Sumber-sumber itu dianalisa, dikonklusi dan disuguhkan dengan eksplanasi runut menyoal berbagai konflik dan pergolakan di kawasan Jawa Timur. 

Sumber ini juga menyibak naskah tradisi tentang pertikaian pada masa imperium Majapahit, Lamajang-Tigang Juru, Sadeng, Blambangan dan Panarukan dalam sengkarut 'ontran-ontran' politik, perang, pemberontakan dan kemelut berkepanjangan. Dimana kemudian memunculkan para 'conquestador' Eropa yang pada akhirnya ikut meramaikan situasi Tatar Wetan, serta menancapkan hegemoninya di tanah yg terkenal subur ini.

Buku yang terlahir dari hasil kajian intensif dengan data tekstual dari bermacam referensi untuk menganalisa peristiwa konflik politik pada era monarki Klasik hingga masa Islam dan Kolonial.

Pembaca, jika berminat silahkan berburu ke toko buku Gramedia, Togamas dan Gunung Agung di seluruh Indonesia. Atau bisa dapatkan secara online di Bukalapak, Tokopedia, Lazada, Shopee, Bukabuku, Bukukita, Sukabuku, dll.nya.

Penulis        : Zainollah Ahmad
Pengantar   : Dr. Retno Winarni, M.Hum
Tebal buku  : 324 halaman
Kertas isi     : Bookpaper
Penerbit      : Matapadi Pressindo, DIY
ISBN           : 786021 63433
 
Salam literasi !!

Rabu, 18 Desember 2019

KEGIATAN EVENT KESEJARAHAN TAHUN 2019


Jumat, 04 Oktober 2019

PENGUMUMAN HASIL SELEKSI LOMBA KTI TINGKAT SLTA

Berdasarkan hasil seleksi Pansel (Panitia Seleksi) Karya Tulis Ilmiah Tingkat SLTA dari Forkom Bhattara Saptaprabhu dalam Event Kesejarahan Tahun 2019 dengan tema Explore The Cultural Heritage and History of Jember, maka telah dipilih 30 karya.

Kami selaku panitia LKTI Bhattara Saptaprabhu mengucapkan selamat kepada peserta terpilih dan untuk peserta yang belum terpilih untuk tidak berkecil hati.

*Keputusan juri tidak dapat diganggu gugat

Download pengumuman lengkap disini

Senin, 23 September 2019

BUKU TERBARU

SALAM LITERASI !!!

Telah terbit buku "Mencari Çūra-bhaya: Telaah Historis Peradaban Surabaya Dari Airlangga hingga Hayam Wuruk."

Untuk kali kedua, Forum Komunitas Bhattara Saptaprabhu melalui penulisnya Yebqi Farhan, S.Pd me-launching buku terbarunya. Namun lain dari buku pertama yang diterbitkan secara Indie, buku kedua ini diterbitkan secara Mayor (penerbit besar).


Surabaya sebagai kota ke- 2 di Indonesia memiliki sejuta keelokan serta keunikan yang membuat setiap orang berdecak kagum. Keunikan itu terpancar dari karakteristik kota Surabaya yang tercermin dalam segala hal khususnya mengenai sejarah Surabaya yang tiada habisnya untuk diperbincangkan.
Surabaya telah dikenal oleh bangsa Indonesia sebagai kota pahlawan karena tanggal 10 Nopember 1945 silam pasukan Inggris mengalami kekalahan dalam pertempuran melawan “Arek-Arek Suroboyo” meskipun akhirnya Surabaya dapat dikuasai. Tetapi sifat heroik pejuang Surabaya tidak terkalahkan oleh hujan peluru serta bombardir yang dijatuhkan oleh pihak sekutu, mereka tidak menghiraukan apapun yang terjadi. Bagi mereka, mempertahankan kemerdekaan adalah suatu tujuan utama yang selalu terpancar dalam harapan dan berkecamuk dalam ingatan.

Melalui penelitian ini, penulis mengakui kesejarahan Surabaya yang amat panjang dan cukup seksi untuk dikaji. Penulis memiliki fakta yang agak berbeda, bahwa kisah heroik Surabaya telah dimulai sejak masa silam tepatnya ketika feodalisme mengepakkan sayapnya di Nusantara. Ketika masa Majapahit, Surabaya adalah pintu gerbang memasuki kerajaan hingga akhirnya muncullah pengusiran tentara Tartar melalui pelabuhan Hujunggaluh pada tangal 31 Mei 1293 M. Tanggal itulah yang dijadikan dasar Hari Jadi Surabaya hingga sekarang.

Peradaban Surabaya cukup unik untuk diteliti, khususnya ketika pemerintahan Airlangga hingga Hayam Wuruk (1019-1389 M) sebab dalam masa tersebut Surabaya tidak luput dari peristiwa-peristiwa bersejarah seperti dijadikannya Surabaya sebagai 'jayacihna' (lambang kemenangan) dan bandar dagang terbesar Timur Jawa pada masanya. Peran Surabaya sangat vital bagi kerajaan-kerajaan besar yang dimulai sejak perpindahan Mpu Sindok hingga berdirinya kerajaan Majapahit sebagai simbol kerajaan Hindu terbesar di Indonesia dan Surabayalah sebagai penyokong utamanya.
Dari segi keagamaan, sejak masa Airlangga Surabaya telah memiliki bangunan suci semacam kuthi (tempat berkumpulnya para pendeta) sebagai tempat berlangsungnya peribadatan di kota pesisir. Meskipun sekarang tidak terlihat lagi, namun tempat peribadatan ini menjadi suatu tolak ukur religiusitas masyarakat Surabaya di masa lampau. 

Tidak kalah uniknya di bidang politik, Surabaya (Hujungaluh) telah ada sejak masa Mataram. Uraian beberapa prasasti di dalamnya membuktikan bahwa Surabaya diakui secara politis keberadaannya oleh kerajaan-kerajaan besar di Indonesia. Dalam literatur asing dan letaknya yang strategis, Surabaya dijadikan sebagai benteng pertahanan demi menegakkan kedaulatan kerajaan khususnya kerajaan Jayakatwang yang telah menundukkan Singasari pada tahun 1291 M.


Mengenai peninggalan sejarah, Surabaya memang tidak memiliki peninggalan sejarah yang cukup banyak, karena daerah ini baru terbentuk setelah abad XI hingga abad XV. Tetapi penulis yakin jika di bawah permukaan daratan Surabaya tersimpan banyak benda arkeologis yang terpendam. Belakangan ini benda-benda tersebut telah muncul kepermukaan untuk ikut “berbicara” tentang peristiwa sejarah yang terjadi ratusan tahun yang lalu. Melalui penemuan sumur kuno di Pandean-Peneleh, sejarah Surabaya mulai berbicara bahwa dahulu kota ini memiliki sejarah yang panjang.

Meskipun terdapat kekurangan, buku kecil ini perlu untuk dimiliki oleh publik sebagai konsumsi intelektual tentang sejarah Surabaya. Buku yang mengulas tentang peradaban Surabaya dengan metodologi sejarah dan terdapat pengantar tantang ilmu peradaban ini patut untuk dimiliki sebagai bahan referensi maupun sekedar bacaan semata. 

Untuk pemesanan dapat menghubungi WA 085204224147. Buku ini juga segera tersedia di toko buku terdekat di seluruh Indonesia serta dapat didapatkan melalui online shop.

Klasifikasi Buku

Judul             : Mencari Ҫūra-Bhaya. Telaah Historis Peradaban Surabay Dari Airlangga Hingga                                Hayam Wuruk.
Penulis           : Yebqi Farhan
Penerbit         : Ar-Ruzz Media-Yogyakarta.
ISBN          .  : 978-602-313-420-5
Tahun Terbit  : September 2019
Harga PO      : Rp. 63.000.


Senin, 21 Januari 2019

DEKLARASI DUPLANG


     Sebuah dinamika luar biasa dari para pegiat sejarah se- Tapal Kuda terjadi pada hari Minggu, 5 Pebruari 2017 yang dengan serentak menyikapi kondisi yang dianggap status quo terkait dengan kompleksnya permasalahan 'kesejarahan' di kawasan Tapal Kuda. Gerakan keprihatinan itu pada awalnya berangkat dari suatu forum informal lewat sosial media yaitu WhatsApp (WA) dari para anggota komunitas untuk menyamakan persepsi dalam melihat ketimpangan dan ketidakadilan, serta carut-marut dan anomali terhadap keberadaan akses dan aset sejarah berupa benda cagar budaya di kawasan Tapal Kuda.
Mereka kemudian menyatukan langkah dalam konteks menjaga bersama aset sejarah khususnya benda cagar budaya, wacana penulisan (literasi) sejarah lokal bersama dan perjuangan untuk mem-branding historisitas kawasan Tapal Kuda.

     Sebenarnya cukup sulit untuk menyamakan persepsi dengan adanya ketidaksamaan latar belakang yang menjadi kendala kecil pada wacana awal termasuk masalah administrasi dan keraguan dari beberapa aktivis kepada maksud dan tujuan dari gerakan tersebut. Akan tetapi permasalahan kecil ini dapat dipecahkan dengan arif, demi sebuah tujuan besar bersama ke depannya.
Dalam hal ini selaku tuan rumah komunitas Bhattara Saptaprabhu yang bermitra dengan koordinator BPCB Jember, Drs. Didik Purbandriyo, cs. yang dibantu oleh Y. Setiyo Hadi dari Museum Bhoemi Poeger (TBB Salam), telah sepakat melaksanakan kegiatan di bekas settlement prasejarah Situs Duplang, Desa Kamal, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Jember. 
Perhelatan sederhana dengan jamuan 10 tumpeng dan polo pendem (umbi-umbian) serta jajan pasar, itu sukses digelar dengan hadirnya para aktivis dan pegiat sejarah di enam kabupaten (Probolinggo, Lumajang, Jember, Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi). Biaya perhelatan sederhana ini digotong secara sukarela oleh para anggota Bhattara Saptaprabhu, tanpa sepeserpun mengandalkan dana pemerintah.

     Para aktivis dan komunitas yang hadir selain Bhattara Saptaprabhu dan anggotanya, Museum Bhoemi Poeger yang dipandegani oleh Y. Setiyo Hadi, MPPMT (Masyarakat Pecinta Peninggalan Majapahit Timur) Lumajang dengan ketuanya Mansoer Hidayat dan sekjennya Lutfia Amerta beserta tim. Dari kawasan timur hadir datang Irwan Rakhday dan Prayudho B. Jatmiko dari LSM Wirabhumi  dan para aktivis Relawan Budaya Balumbung -Relawan Budaya Patukangan. Dari Bondowoso hadir Masdani RS, cs dan dari Bhumi Blambangan (Banyuwangi) hadir Moenawir dari Banjoewangi Tempo Doeloe (BTD), Mas Aji Wirabhumi dari Blambangan Kingdom Explore, dkk. Selain itu hadir juga para pakar dan akademisi seperti Dr. Retno Winarni, M.Hum, Dr. Sukatman , M.Pd (Universitas Jember), wartawan dari berbagai media dan tidak lupa para pejabat seperti Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jember, Hari Wijayadi, anggota DPRD Jember yang diwakili oleh Isa Mahdi dan Yudi Hartono, serta awak media seperti M. Faizin Adi dari Jawa Pos RJ, dan wartawan elektronik.

     Deklarasi dengan jargon "Bersatu Tekad Melakukan Perjuangan Bersama Untuk Melindungi Aset Sejarah se Wilayah Tapal Kuda" tersebut, dimeriahkan dengan pembacaan puisi "Tawang Alun" oleh Ria Sukariyadi dan deklamasi sajak "Aria Wiraraja" oleh seorang 'pujangga' dari MPPMT Lumajang.
Kemudian dilanjutkan dengan acara diskusi yang dimoderatori oleh Lutfia Amerta Sanjiwani, aktivis sejarah dari Lumajang. Dalam acara diskusi tersebut, beberapa pembicara tampil seperti Dr. Retno Winarni yang mengupas tema diskusi "Timbul Tenggelamnya Hegemoni Tapal Kuda, dan Perannya di Nusantara Abad XIII-XIX. Dr. Retno menjlentrehkan tentang garis besar hegemoni Blambangan di Tapal Kuda, sedangkan paparan sejarah Klasik kawasan Tapal Kuda dipresentasikan oleh Zainollah Ahmad. Selain itu ikut tampil Mansoer Hidayat, Y. Setiyo Hadi, Ria Sukariyadi, Dr. Sukatman dan Mas Aji Wirabhumi serta pembicara lain, yang juga meramaikan narasi sejarah sebagaimana tema di atas. Tentunya para birokrat daerah dan anggota dewan menyampaikan apresiasi kepada para pegiat sejarah yang telah sukses menggelar momen yang langka tersebut, apresiasi khususnya disampaikan kepada panitia dari Bhattara Saptaprabhu.

     Acara yang diisi dengan preambule oleh Drs. Didik Purbandriyo tersebut memiliki gaung yang kemudian bergema ke seantero, sebagai sebuah gagasan cemerlang para aktivis yang peduli terhadap nilai-nilai sejarah dan budaya bangsa. Selaku "pemangku adat" Situs Duplang, Didik Purbandriyo juga memberikan eksplanasi tentang benda-benda cagar budaya yang ada di situs kepada para hadirin khususnya tamu-tamu dari luar Jember.

      Sebelum acara diakhiri dengan diskusi, dikumandangkan ikrar bersama yaitu melalui pembacaan deklarasi yang disebut dengan Deklarasi Duplang (Nawasila Duplang) oleh Ria Sukariyadi dari Bhattara Saptaprabhu, yang isinya antara lain :

1. MELESTARIKAN BENDA BERNILAI CAGAR BUDAYA SERTA TEMPAT YANG           BERPOTENSI MENJADI CAGAR BUDAYA
2.  MENDORONG REALISASI PERDA CAGAR BUDAYA BESERTA ANGGARAN YANG MEMADAI DI SETIAP KABUPATEN DI TAPAL KUDA
3.   MENGGALAKKAN PENULISAN DAN KAJIAN SEJARAH LOKAL KAWASAN TAPAL KUDA
4. MEMPERJUANGKAN SEJARAH LOKAL MENJADI BAGIAN KURIKULUM DI SETIAP SATUAN PENDIDIKAN
5. MEMPERJUANGKAN DITETAPKANNYA PERDA HARI JADI KABUPATEN YANG BERDASARKAN TUJUH KRITERIA 
6. MEMPERJUANGKAN ALOKASI ANGGARAN UNTUK KONSERVASI, EKSPLORASI, REHABILITASI DAN RISET BENDA-BENDA SERTA TEMPAT BERSEJARAH
7. MEMPERJUANGKAN WISATA SEJARAH SEBAGAI TUJUAN WISATA UTAMA DI DAERAH TAPAL KUDA
8. MENDORONG PENEGAKAN HUKUM YANG TEGAS UNTUK UPAYA PERUSAKAN DAN PENELANTARAN BENDA CAGAR BUDAYA
9. MENDORONG MUNCULNYA KOMUNITAS PEGIAT SEJARAH SEBAGAI UNSUR KEKUATAN CIVIL SOCIETY

7 (TUJUH) Kriteria Hari Jadi:
1. Menjadi suatu kebanggaan (pride)
2. Pilihan peristiwa dan tokoh bukan produk kolonial
3. Memiliki karakter dan cita rasa lokalistik
4. Tidak merusak “rumah besar” NKRI
5. Kaya nilai filosofi Pancasila
6. Mengandung nilai-nilai heroisme dan patriotisme
7. Memiliki peristiwa yang lebih awal (tua)


BABAD SUMENEP "REBORN"



Alhamdulillah...telah bertambah lagi buku yang terbit dari komunitas Bhattara Saptaprabhu, berikut telah beredar di toko buku. Sebelumnya buku ini telah melalui proses seleksi dan revieuw di penerbit, termasuk lama penelitian dan kajian pustaka yang memakan waktu lebih dari dua tahun.

Terlepas dari segala kekurangannya, sebenarnya cukup muskil naskah sejarah lokal seperti ini bisa berkompetisi di penerbit besar (mayor) karena terkadang sering dinilai tidak 'marketable'. Lain halnya dengan novel atau roman sejarah yang lebih banyak digandrungi.Terlebih penulis bukanlah dari akademisi yang punya 'branded' Prof. Dr, meskipun metode penulisannya memakai cara dan kaidah yang kurang lebih sama dengan mereka.





Bagi penulis, kepuasan itu bukan hanya karena buku ini lolos di penerbit dan masuk display serta "mejeng" di toko buku. Tetapi terlebih karena bisa mengangkis historiografi Sumenep sebagai kota kecil ke pentas nasional, dimana selama ini literasi sejarah kabupaten itu hanya berkiprah di tingkat lokal saja. Padahal pada tahun 1914 Raden Musaid Werdhisastra, putera Sumenep melalui bukunya Bhabhad Songennep telah membangkitkan patriotisme melawan penjajah. Alhasil, buku ini merupakan  "reborn" dari buku babad tersebut, meskipun isinya 70% tentu tidak sama.

Sebenarnya sudah saatnya literasi sejarah kota budaya tersebut ikut berbicara dan duduk sejajar dengan historiografi Jawa, khususnya sejarah Masa Klasik. Karena Sumenep merupakan fragmentasi dan 'link-up' dari sejarah panjang peradaban Jawa yang adiluhung. Namun selama ini historisitas Sumenep masih berbau 'fairytale' (dongeng) dan terpinggirkan dari para peneliti. Mungkin karena dianggap miskin fakta dan lebih banyak berselimut mitos (folklore, folktale), sehingga kurang menarik.

Bagi yang berminat, buku ini nanti bisa didapatkan di toko buku Gramedia, Gunung Agung, Togamas, dll.nya di kota-kota besar dan bisa juga lewat online (solusibuku.com, bukalapak.com, tokopedia.com,dll). Karena buku ini masuk ditribusi NASIONAL, sebagaimana buku saya sebelumnya.

       


#salamliterasi


BUKAN SEKEDAR MASA LALU


        Kehidupan manusia tidak akan pernah bisa dilepaskan dari sejarah, sebab manusia adalah pelaku sebuah sejarah di muka bumi. Kehidupan manusia dan masyarakat bergerak dan terus berkembang. “Panta Rhei” kata Heraclitus, yang artinya, tidak ada yang tidak berubah, semua mengalir, masyarakat sewaktu-waktu bergerak dan berubah. Selain Heraclitus, Wertheim pernah menuliskan “History is a Continuity and Change” artinya, sejarah adalah peristiwa yang berkesinambungan dan berubah. Asumsi beberapa pakar di atas memberikan sebuah hipotesa kuat bahwa sejarah merupakan ilmu yang dinamis (berkembang). 


Sehubungan dengan perkembangan Ilmu Sejarah, sejak berakhirnya Perang Dunia II dalam bidang keilmuan, menuntut adanya revolusi yang pada saat itu didominasi oleh aliran Annales di Perancis sejak tahun 1920-an. Fernand Braudel (1995) mengungkapkan dalam bukunya The Mediterannean and the Mediterannean World in the Age of Philip II yang diterbitkan di London memberikan sumbangsih pemikiran bahwa perubahan dari sejarah strukturalisme itu beracuan pada unsur geografis. Berdasarkan pendekatan geografis tersebut melahirkan ide-ide tentang penulisan sejarah lokal

Pengamat pendidikan, Indonesia, Prof. Dr. Ing. Wardiman Djojonegoro menyampaikan, penulisan sejarah masih terpusat pada peristiwa besar dan orang-orang terpandang, seperti kerajaan dan orang besar bahkan menurut hemat penulis pada awalnya yang tertuang dalam Sejarah Nasional Indonesia adalah sejarah bangsa asing yang berkuasa di Nusantara yang kelak menjadi Indonesia. Alur penulisannya cenderung menempatkan bangsa pribumi sebagai orang kedua dan tidak sebagai pelaku utama.




Munculnya pendekatan post-kolonial sejak tahun 1950-an berbagai tipe sejarah lokal mulai berkembang. Sebuah permasalahan bermunculan dalam perjalanan sejarah lokal di Indonesia mulai dari definisi, aspek geografis, teori hingga korelasinya terhadap sejarah nasional. Sejarawan yang mempelopori sejarah lokal di Indonesia Taufik Abdullah mengemukakan bahwa pengertian sejarah lokal tidak selalu bersifat tunggal. Sejarah lokal memiliki pengertian dan dimensi yang beragam (Abdullah,1985:15). Abdullah menambahkan yang dimaksud sejarah lokal adalah ”sejarah dari suatu ”tempat”, suatu ”locality”, yang batasannya ditentukan oleh ”perjanjian” yang diajukan penulis sejarah”. Pengertian ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Carol Kammens (2003:ix) yang menyatakan bahwa ”local history is the study of the past events, or people or groups, in a given geographic area. The focus of the local history can be the place itself, the people who lived there or events that took place in a particular location". Artinya sejarah lokal adalah studi tentang peristiwa masa lalu, atau orang atau kelompok, dalam wilayah geografis tertentu. Fokus sejarah lokal dapat menjadi tempat itu sendiri, orang-orang yang tinggal di sana atau peristiwa yang terjadi di lokasi tertentu.

Di samping itu, sejarah lokal yang sering diwarnai oleh mitos (clouded in myth) sering mendorong sejarawan larut dalam anggapan. Maksudnya, peneliti larut dengan anggapan masyarakat lokal dimana peristiwa tersebut dipersepsikan selama ini. Nilai dan praanggapan kultural masyarakat setempat lebih dijadikan referensi dibanding referensi teoretis dan metodologis yang tersedia. Untuk itu pemahaman tentang metodologi dan teori yang relevan dengan topik yang diteliti menjadi sangat diperlukan dalam penelitian sejarah lokal (Abdullah, 1987:3).

Dalam menulis sejarah lokal kita harus menyelami ruh dari sejarah lokal itu sendiri, sebab sejarah lokal bukanlah sejarah kawasan (regional) maupun sejarah sosial melainkan sebuah kajian yang di dalamnya memiliki dua unsur utama yaitu lokalitas dan komunitas yang menghuninya. Jika lokalitas bisa didefinisikan dalam batas geografis, maka komunitas lebih menunjukkan definisi yang lebih beragam seperti keluarga, etnis atau lingkungan yang memiliki interaksi terbatas. Oleh  karenanya, sejarah lokal lebih menekankan pada lokalitas geografi (Philips,1995:2). Namun penulis menambahkan bahwa selayaknya sejarah lokal sebagai ilmu pembelajaran, seharusnya sejarah lokal tidak merusak  tatanan “rumah kebesaran” sejarah nasional.

Kita harus akui jika sejarah lokal berpotensi menimbulkan pertentangan dengan sejarah nasional, sebab manurut Irsyam setidaknya tiga komponen yang membedakan maupun sebagai identitas sejarah lokal terhadap sejarah nasional. Ketiga komponen tersebut adalah tradisi lokal, identitas lokal dan sumber lokal (Irsyam, 2017:19). Namun semua pertentangan itu tergantung kepada penulis atau sejarawan yang menulis sejarah lokal tersebut. Tentunya sebagai seorang sejarawan ada beban moral yang harus dipikul demi terciptanya sejarah lokal yang berkualitas dan dipercaya.

Berdasarkan paparan di atas, bisa kita pahami betapa pentingnya sejarah lokal. Peristiwa yang selama ini hanya dianggap sebuah masa, sejatinya bukan sekedar masa lalu saja. Karena sejarah lokal akan memberi pemahaman bagi masyarakat mengenai asal usul serta akar sejarah di sebuah lokalitas dan masa tertentu. Sehingga masyarakat lokal dapat lebih memahami sejarah di sekitarnya dan dalam lingkup global dapat memperkaya sejarah nasional.


Keterangan : Peninggalan era Kolonial Belanda dan Prasejarah di Jember yang menjadi aset       sejarah lokal.

                                              
                                                  OlehAprilia Nur Hasanah, S.Pd 

    (Anggota Bhattara Saptaprabhu dan guru Sejarah SMA Al-Hasan, Kemiri Panti - Jember)






Minggu, 02 April 2017

POTRET PERADABAN JEMBER KLASIK

    JEMBER merupakan daerah di Timur Jawa yang menyimpan banyak misteri historisitas (kesejarahan) yang belum terpecahkan. Salah satu dari kesejarahan itu adalah aspek sejarah Klasik yang masih belum terkuak dan terjawab dengan tuntas. Dalam kajian penulis buku, Jember telah 'terpapar' pada  kekuasaan dan peradaban pada era Majapahit pada beberapa ratus tahun yang lalu.
Dengan hadirnya buku Masa Lalu Jember, Studi Historis Peradaban Jember Pada Masa Majapahit, yang di-editori oleh Dr. Adzkiyak ini diharapkan dapat mengetahui jawaban dari teka teki selama ini terutama terkait tentang peradaban Jember pada Masa Majapahit.

       Buku dengan tebal 160 hal, dan dibalut cover yang menarik ini merupakan buku kedua tentang masa Klasik Jember yang ditulis oleh aktivis sejarah dari komunitas Bhattara Saptaprabhu yang mengkaji tentang peninggalan peradaban masa Klasik dengan harapan sejarah Jember mulai terkuak kepermukaan. Buku pertama adalah Topographia Sacra, Menulusuri Jejak Sejak Sejarah Jember Kuno, yang ditulis Zainollah Ahmad, yang juga seniornya di pegiat sejarah komunitas yang sama.
Banyaknya peninggalan-peninggalan arkeologis di Jember, menurut Farhan telah memberikan emosi kritis untuk mengakaji sejarah Jember, terutama tentang pembuatan beberapa candi yang diduga kuat pada masa raja Hayam Wuruk yang salah satunya berada di Gumukmas Jember. Meskipun candi-candi itu semuanya nyaris rata dengan tanah. Selain itu Jember merupakan satu daerah yang dianggap  "zona merah" bagi Majapahit kala itu, sebab tercatat dalam beberapa sumber, bahwa Pasadheng (Perang Sadheng) tahun 1331 M yang dilakukan oleh rakyat dan bangsawan di tlatah Sadheng di Puger.
Lebih dari itu, Hayam Wuruk pernah menginjakkan kakinya di Jember dengan beberapa petinggi kerajaan dan rombongan "karnaval agung"-nya. Beberapa fakta sejarah di atas membuat penulis buku merasa tergugah dan tentu merupakan sebuah kekecewaan jika tidak diabadikan dalam bentuk tulisan sehingga muncullah buku sederhana ini. 
         
    Namun Farhan memberikan hipotesa yang "melampaui" sebuah tesis kajian tentang hasil peradaban di Jember. Misalnya dengan berani ia menyimpulkan bahwa Situs Beteng Semboro dan Kutha Kedawung Paleran sebagai peninggalan Blambangan, tanpa memberikan argumen yang jelas. Padahal berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang didukung oleh cerita tutur, kawasan ini lebih merujuk pada peninggalan peradaban Majapahit. Sehingga diharapkan Farhan bisa memberikan tafsir yang argumentatif atas hasil kajiannya atau me-revisi jika merupakan kesalahan tulis.
Selain itu konten buku yang masih belum terfokus pada tema kajian, yaitu "peradaban era Majapahit" di Jember belum mendapatkan porsi yang pas, dan ditulis implisit, tapi bisa dimaklumi karena terbatasnya sumber referensi tentang Jember. 
Akan tetapi buku sejarah lokal Jember ini patut dibaca, dikaji dan dikritisi dan yang penting dimiliki oleh semua lapisan masyarakat, sebab berisi uraian-uraian yang direkonstruksi dengan penalaran ilmiah dan kritis.
        
       Penulis muda ini telah terpilih sebagai salah satu peserta terbaik dalam pelatihan literasi sejarah Kemdikbud tahun 2017 dari Forum Komunitas Bhattara Saptaprabhu. Ia mengolah dan meramu karyannya dengan kajian berbagai sumber komprehensif yang digunakan para penulis sejarah lainnya. Karena konsekuensi menjadi penulis dan peneliti sejarah tentu harus berkutat pada banyak referensi dan sumber.
Dengan kehadiran buku ini, Yebqi Farhan telah menjawab secara elegan keragu-raguan atas konstruksi sejarah Jember yang dianggap masih rapuh dan belum layak dalam historiografinya, utamanya terkait langkanya sumber mainstream. Penggunaan sumber mainstream yang merupakan keniscayaan, di mana penulis telah berhasil mengkompilasi dan mengkomparasi sumber tersebut, meski belum lengkap.
Karena selain di atas, dalam historiografi ada metode heuristik dan terbuka pintu interpretasi, jika sumber tersebut dianggap tidak sesuai atau tidak validSebagai penulis, Farhan mampu menyikapi dan memanfaatkan metode tersebut. Meskipun akhirnya bermuara pada 'hitam putih', dan terkadang tidak sesuai dengan 'selera kesejarahan' kita.

     Dengan  begitu penulis berhasil menunjukkan bahwa literasi sejarah itu tidaklah jumud, dan "kaku jeku". Ia telah bersiap dengan karya berikutnya. Semoga bisa menambah literasi komunitas kami, demi rakyat, negara dan bangsa tercinta. Selamat membaca. (Tim Resensi Bhattara Saptaprabhu).



Rabu, 22 Maret 2017

ARIA WIRARĀJA KONSEPTOR KETATANEGARAAN MAJAPAHIT

                                          Oleh : Zainollah Ahmad

Peranan Besar Aria Wirarāja Sebagai Konseptor Ketatanegaraan


    Nama Aria Wiraraja dikenal sebagai tokoh sejarah kontroversial yang banyak dipuja sekaligus dicemooh. Dipuja karena ia sangat lihai, cerdik dan piawai merancang strategi dalam melawan Jayakatwang dari Daha dan pasukan Tartar Mongol yang mengadakan invasi ke Pulau Jawa. Tapi ia dicemooh karena dianggap oportunis, tidak konsekwen dan pintar mencari peluang untuk keuntungan politik. Selain itu Aria Wiraraja juga banyak diklaim sebagai tokoh daerah Sumenep dan Lumajang serta Bali, tetapi selama ini belum ada bukti-bukti signifikan yang menunjukkan ia berasal dari tiga daerah ini.

     Sebagaimana dijelaskan dalam banyak naskah yang berkaitan dengan jatidiri Aria Wirarāja, bahwa nama seseorang mengandung tanda-tanda (alamat) tertentu (nomen sit omen) dan mempunyai arti khusus. Orang tua memberikan nama anaknya dengan maksud tertentu agar anak tersebut berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan nama yang disandangnya. maka Di dalam Pararaton dikatakan bahwa Aria Wirarāja semula bernama Banyak Wide. Halaman 18 Pararaton (edisi Belanda) menyebutkan sebagai berikut :

“ Hana ta wongira, babatangira buyuting Nangka, aran Banyak Wide, arupa tan kandel denira, dinohaken, kinon adhipatiaring Songenneb, angar ing Madura Wetan”.

  Mengenai kedudukan atau jabatan dari Aria Wirarāja, beberapa sumber berbeda pendapat dalam menyebutkan tentang jabatannya. Misalnya Mangkudimedja dalam buku Pararaton, Ken Arok 2 menyebutkan bahwa besar kemungkinan Aria Wirarāja adalah seorang “babatangan” (penasehat spiritual). Babatangan itu mungkin di zaman sekarang bisa diartikan sebagai tukang membatang atau meramal, yakni sama dengan ahli nujum. Orang yang kerjaanya menerangkan atau membukukan segala sesuatu yang sifatnya penuh misteri atau rahasia.

   Namun begitu, semua ini barulah merupakan perkiraan dan dugaan belaka, sebab Dr. J.L.A.Brandes sendiri juga belum yakin mengenai arti sebenarnya. Dugaan Brandes, mungkin yang dimaksud adalah karereyan yang artinya babatangan.
Sedemikian tadi akhirnya terserah saja kepada yang ingin menyelidiki. Karena kenyataannya banyak kata-kata kuna yang tidak kita temui lagi di zaman sekarang. Bahkan adakalanya sudah berganti makna  serta maksud. Beberapa catatan sejarah menyebutkan tentang alasan pemindahan atau mutasi Aria Wirarāja ke Sumenep. Seperti dalam Pararaton disebutkan kata “dinohaken” atau dipindahkan , yang tentunya tidak terlepas dari situasi pemerintahan di Singhasari serta pandangan politik dari Keṛtanegara.

   Tujuan pengangkatan Aria Wirarāja menjadi adipati di Songennep pertama, untuk mengurangi kekuatan wangsa Râjasa, karena tokoh muda ini dikenal sangat dekat dengan wangsa keturunan Ken Arok – Ken Dedes, yang di kemudian hari menjadi penasehatnya. Kedua, untuk lebih memperkuat kedudukan dan pengaruh Singhasari di Madura karena  penguasa sebelumnya, Nararyya Kulup Kuda dirasakan kurang berhasil. Madura dianggap memiliki nilai penting bagi Keṛtanegara karena letaknya yang bersebelahan dengan Pulau Jawa. Maka haruslah dapat dikuasai untuk menjaga supaya tidak ada bibit perlawanan di sana dan menjaga posisi Singhasari terhadap kerajaan-kerajaan di sekitarnya. Penempatan Aria Wirarāja yang menjalankan fungsinya sebagai penguasa di Songennep sangat mendukung program politik Cakrawala Mandala yang terus digalakkan.[1]

    Persoalan mutasi politik terhadap Aria Wirarāja ini menjadi menarik karena terdapat dua teori yang membahasnya. Pertama, teori klasik berdasarkan Kakawin Nāgarakṛetāgama dan Pararaton. Menurut kedua kitab klasik itu, mutasi politik itu terjadi karena ketidaksukaan Keṛtanegara terhadap Aria Wirarāja. Sedangkan teori kedua yang dipaparkan oleh sejarawan C.C. Berg dari Universitas Leiden, mengatakan bahwa Aria Wirarāja dijadikan penguasa Sumenep bukan karena dibuang, atau tidak disukai. Akan tetapi karena gerakan politik Keṛtanegara saat itu yang berupaya membangun imperium besar Nusântara dan juga sedang menghadapi ancaman Ku Bilai Khan dari Mongol (D.G.E. Hall, 1988). Sebagaimana diketahui, Keṛtanegara berdaya upaya untuk membesarkan Singhasari sebagai kekuatan politik suprematif di Nusântara. Ambisi politik ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menjadi penguasa  tunggal Nusântara yang merupakan kecenderungan ambisi umum raja-raja Jawa sejak era rajakula Syailendra dari kerajaan Mědang Bhūmi Matarām. Selain itu, politik ekspansif Keṛtanegara untuk menguasai Nusântara juga berkaitan dengan makin meluasnya pengaruh kekuasaan Mongol di kawasan Asia Tenggara. Tujuan dari Keṛtanegara mengadakan tindakan politik ekspansi adalah bagaimana nanti agar Jawa mampu melemahkan kerajaan maritim terbesar di Nusântara yaitu Sriwijaya sekaligus membendung serangan Mongol.

    Menurut C.C. Berg, Aria Wirarāja dijadikan sebagai penguasa Sumenep justru menjadikan Madura sebagai basis pertahanan untuk membendung kekuatan Mongol. Keṛtanegara memang menggunakan strategi politik pembendungan dengan menjadikan sejumalah daerah di Nusântara sebagai benteng ekspansi tentara Tartar Mongol.[2]
Teori dari Berg merupakan suatu pendapat yang menarik yang tentu kontradiksi terhadap teori klasik bahwa Aria Wirarāja dianggap sebagai oposisi, lalu dinohaken ke Songennep oleh Keṛtanegara. Dengan posisi demikian malah Aria Wirarāja semakin kuat seiring strategi politik Singhasari. Akan tetapi teori dari Berg perlu dikritisi karena selain analisanya sangat pas dalam konteks kekinian yaitu teori detente dalam politik internasional, juga tidak melandaskan pada naskah-naskah mainstream. Posisi dan bargaining power Aria Wirarāja begitu kuat, tidak saja bagi Singhasari tapi termasuk di mata Daha (Jayakatwang) sebagai penguasa yang sedang mencari pijakan baru dan bersiap mengambil peluang politik. Hal ini dibuktikan pada saat Raden Wijaya meminta proteksi kepada Aria Wirarāja, maka atas “katabelece” Adipati Songennep, maka menantu Keṛtanegara ini diampuni bahkan dihadiahi tanah hutan Tarik.

    Beberap keterangan sejarah di bawah ini setidaknya bisa dijadikan sebagai informasi mengenai keberadaan dan posisi Aria Wirarāja, yaitu  :
  • Kidung Harsa Wijaya, mengatakan Aria Wirarāja pada masa Singhasari menjabat seorang demang.
  • Kidung Pañji Wijayakrama tidak menyebutkan dengan pasti apa jabatannya.
  • Demikian juga dalam kitab Pararaton yang diterjemahkan oleh Drs. Pitono (1966) dan Pararaton yang diterjemahkan oleh Ki Padmapuspita (1956), hanya menyebutkan Aria Wirarāja adalah seorang bawahan (hamba Keṛtanegara).
  • Drs. Abdurrachman menyebutkan bahwa jabatan dan pangkat Aria Wirarāja adalah rakryān Děmung nayapati di kerajaan Singhasari.
Berdasarkan Prasasti Mula Malurung, Wisnuwardhana memerintah mulai tahun 1250 yang menguasai Daha dan Singhasari. Rasa khawatir akan timbulnya sengketa kekuasaan jika kelak dia telah tiada, menyebabkan ia buru-buru melantik puteranya Keṛtanegara sebagai raja muda di Daha. Hal ini rupanya untuk mengokohkan kekuasaan keturunannya kelak.

Kemudian setelah masa pemerintahan raja Keṛtanegara, Aria Wirarāja “dinohaken” dan  dimutasi sebagai pejabat yang lebih rendah (adipati). Pararaton menceritakan secara singkat dilantiknya Aria Wirarāja menjadi adipati di Songennep yang berkedudukan di Madura Timur.
Pararaton tidak mencantumkan tanggal maupun tahun peristiwa di atas tersebut. Pararaton hanya menceritakan sesudah Wisnuwardhana mangkat dan Keṛtanegara menggantikan menjadi raja, Wirarāja dipindahkan ke Songennep.

Mengenai peranan Aria Wirarāja dalam membantu Sanggramawijaya (Raden Wijaya) menaklukkan Jayakatwang, mengusir tentara Tartar Mongol, sampai tegaknya kerajaan Majapahit diceritakan secara lengkap dalam Pararaton. Kidung Pañji Wijayakrama, Kidung Ranggalawe dan Kidung Harsa Wijaya.
Beberapa prasasti seperti Kudadu (11 September 1294) dan Prasasti Sukamerta (29 Oktober 1295), menyebutkan peristiwa-peristiwa penting yaitu pengungsian Sanggramawijaya ke Madura.

Peran Politik Kenegaraan Aria Wirarāja di Majapahit

      Berdasarkan hasil deskripsi sumber-sumber di atas, maka peranan Aria Wirarāja bukanlah hanya memberikan bantuan kekuatan pasukan dan pengerahan rakyat Madura, akan tetapi jauh di balik itu, Aria Wirarāja adalah seorang yang ahli strategi, dan inspirator berdirinya kerajaan Majapahit.
Benarlah kiranya apabila ia disebut sebagai aktor intelektualis, sehingga pencitraan  sejarah Majapahit tidak akan pernah luput dari peranan Aria Wirarāja serta orang-orang Madura pada awal pendiriannya.
Selain dari itu, kesetiaannya pada negara juga tercermin dalam sikap diamnya ketika mengetahui puteranya Ranggalawe dibunuh secara kejam ketika mengadakan pembangkangan terhadap Raden Wijaya. Demikian pula terhadap Nambi yang dianggap melakukan pemberontakan dari Lumajang sendiri. Meskipun masih terjadi penafsiran terhadap keberadaan Nambi dan Ranggalawe yang disebut sebagai puteranya.
Dengan sikap diam dan kesabarannya ini merupakan loyalitas yang tinggi pada masa  tersebut, yang tercermin ketika pertama kalinya “dijauhkan” ke Songennep.
Kesetiaan yang menonjol lainnya ialah ketika ia dengan rendah hati menolong Raden Wijaya yang terlunta-lunta dengan menjanjikan untuk mengembalikannya sebagai raja.

   Dengan berakhirnya kekuasaan Keṛtanegara, dari keterangan yang ditemukan pada beberapa prasasti terbukti bahwa runtuhnya Singhasari bukan akibat dendam kesumat keturunan Sri Kertajaya, raja Daha seperti yang diuraikan dalam Nāgarakṛetāgama pupuh XLIV/1-2, dan Kidung Harsa Wijaya. Namun karena sikap semena-mena Sri Keṛtanegara terhadap Děmung Nayapati Aria Wirarāja. Sehingga Aria Wirarāja merasa sakit hati, karena dilorot dari kedudukannya sebagai Děmung dan dipindahkan ke Songennep sebagai adipati. Dendam Wirarāja terhadap Sri Keṛtanegara dilampiaskan melalui Sri Jayakatwang, yang telah lama mengincar tahta Kaḍiri (Daha) sepeninggal Sri Wiswarupakumara. Mungkin sekali Jayakatwang mengharapkan pengangkatannya sebagai raja bawahan di daerah Kaḍiri.[3]

    Cukup banyak kiranya analogi terhadap ketokohan Aria Wirarāja yang dianggap anomali dan kontroversial, karena ada yang mengatakan ia adalah seorang oportunis, pandai mencari kesempatan dalam kesempitan. Tapi karena begitu besar peran dan jasa-jasanya, maka banyak juga yang memuja dan mengklaimnya. Ia menjadi founding father sebuah peradaban terbesar monarki tanah air, yaitu Majapahit. Sebagai negarawan dan seorang politisi, wajar jika sepak terjangnya banyak menuai pro dan kontra.


   Setelah diangkat menjadi raja Majapahit, Raden Wijaya segera memanggil Aria Wirarāja dan mengangkatnya sebagai salah satu Menteri Pasangguhan. Setelah penobatan Raden Wijaya (Keṛtarâjasa) menjadi raja Majapahit, Aria Wirarāja tidak kembali ke Madura. Dalam Piagam Kudadu, Wirarāja memegang kedudukan sangat tinggi dalam pura Majapahit. Pararaton menguraikan bahwa sejak penobatan Keṛtarâjasa, adipati Wirarāja tetap tinggal di pura. Baru kemudian setelah selesai pemberontakan Ranggalawe yang berakhir dengan kematiannya, ia menagih janji untuk membagi kerajaan Majapahit menjadi dua seperti yang dijanjikan oleh raja ketika Raden Wijaya mengungsi ke Songennep.[4]

Selain itu tercatat tentang tiga mahamantri katrini dan para pemuka agama. Piagam Kudadu (1294 M) menyebutkan ada tiga orang menteri pasangguhan, yaitu Rakryān Menteri Pranaraja Mpu Sina, Rakryān Menteri Dwipantara Aria Adikara, dan Rakryān Menteri Makapramuka Aria Wirarāja. Dengan demikian, sejak 1294 M, Aria Wirarāja sudah tidak lagi sebagai Adipati Songennep dan tidak tinggal di sana.
Kidung Ranggalawe dan Kidung Pañji Wijayakrama menyebut Aria Wirarāja ayah Ranggalawe. Ini berbeda dengan berita Pararaton yang menyebutnya sebagai ayah Nambi. Kidung Harsa Wijaya rupanya senada Pararaton, karena menyebut putera Wirarāja yang dikirim kepada Raden Wijaya untuk membantu membuka hutanTarik bernama Nambi, Peteng dan Wirot.

Dalam buku Nāgarakṛetāgama  dan Tafsir Sejarahnya, Slamet Muljana heran mengapa Ranggalawe tidak termuat dalam Prasasti Kudadu, sementara Aria Wirarāja termuat. Mengingat kedudukannya sangat tinggi akibat jasa-jasanya, Ranggalawe pasti mendapat pangkat tinggi dalam pemerintahan Majapahit. Demikian menurut keyakinan Slamet Muljana.

Menurut Kidung Pañji Wijayakrama, nama Ranggalawe merupakan hadiah Raden Wijaya  kepada putera Aria Wirarāja, ketika diutus ayahnya membantu Raden Wijaya membuka alas Tarik. Jadi Ranggalawe bukan nama sebenarnya. Slamet Muljana meyakini Rakryān Menteri Aria Adikara pada Piagam Kudadu sama dengan Ranggalawe. Nama resmi Ranggalawe adalah Aria Adikara, nunggak semi dengan ayahnya. Selain itu Slamet Muljana juga mengatakan, nama Ranggalawe sebagai Aria Adikara termuat dalam Piagam Kudadu. Tetapi ada yang menentang analisa Slamet Muljana sebagai tafsir yang kurang mendasar dan sangat lemah. Karena jika nama Ranggalawe tercantum dalam Piagam Kudadu, seharusnya Nambi dan terutama Lěmbu Sora juga dicantumkan. Sora merupakan paman Ranggalawe, jasanya bahkan lebih tinggi ketimbang Ranggalawe. Jika Ranggalawe menjadi menteri, Nambi dan Pu Sora juga harus jadi menteri, namanya harus dicantumkan dalam prasasti bersama dengan Ranggalawe.

Dengan begitu ada alasan mengapa Ranggalawe tidak diangkat jadi menteri pasangguhan, tentu karena masih muda, belum layak dimajukan sebagai menteri pasangguhan. Maka paling tinggi sebagai menteri ring pakirakiran bersama Nambi dan Sora. Sementara tiga menteri pasangguhan dalam Piagam Kudadu adalah tokoh-tokoh terpilih, tokoh senior yang sangat dihormati oleh Raden Wijaya. Aria Adikara dalam Piagam Kudadu adalah ayah Ranggalawe atau kakak kandung Sora. Kesimpulan ini didukung berita Pararaton yang menyebut Aria Adikara bersama Ranggalawe, Sora dan tiga putera Wirarāja yaitu Nambi, Wirot, dan Peteng sebagai ksatria Singhasari yang berjuang bersama Raden Wijaya. Sehingga Ranggalawe belum tercantum dalam Prasasti Kudadu, demikian pula Nambi dan Sora. Ada kemungkinan karena Raden Wijaya belum membentuk Dewan Menteri Pakirakiran, karena negara masih dalam keadaan darurat. Sementara untuk memilih Mahāpatih, bukan perkara mudah dan tidak asal tunjuk, karena harus berdasarkan pertimbangan yang matang.  Dalam hal ini sang raja masih sulit menentukan siapa yang bakal menduduki kursi Mahāpatih. Apakah Sora atau Nambi maupun Kěbo Anabrang. Sementara waktu, Raden Wijaya hanya mengangkat tiga menteri pasangguhan, yaitu tiga tokoh senior yang sangat berpengaruh, dan segera dicantumkan dalam prasasti pertamanya.

Berdasarkan beberapa penafsiran, maka Aria Wirarāja ayah Nambi, sementara Aria Adikara ayah Ranggalawe, Lěmbu Sora merupakan adik kandung Aria Adikara. Diperkirakan pada tahun 1295 M, Aria Wirarāja berusia 60 tahun, Aria Adikara 50 tahun, Lěmbu Sora 45, Ranggalawe 25 tahun, Nambi 40 tahun, dan Kěbo Anabrang  45 tahun. Sehingga dari semua pengikut Raden Wijaya, Aria Wirarāja yang paling senior. Maka sangat pantas jika menjabat rakryān menteri makapramuka atau pemimpin para menteri.

Selain karena faktor usia, kedudukan Aria Wirarāja dalam susunan awal pemerintahan Majapahit karena terikat kontrak politik dengan Raden Wijaya. Salah satu kontrak politik yang harus segera dibayar Raden Wijaya yaitu memutuskan siapa yang menjadi Mahāpatih Majapahit.
Ini sesungguhnya tersulit bagi Raden Wijaya ketika harus memilih apakah Mahāpatih Majapahit dari keluarga Wirarāja atau Adikara. Bagaimanapun juga keluarga Aria Adikara berperan besar mendampingi perjuangan Raden Wijaya.

        Sebagai catatan penting, Banyak Wide atau yang dikenal juga dengan nama Aria Wirarāja ini merupakan tokoh yang mempunyai ikatan batin dengan beberapa tempat yang ia besarkan, seperti Sumenep dan Lamajang. Namun selain kedua tempat, Pulau Bali juga mempunyai kedekatan dengan tokoh ini dan diabadikan dalam Babad Manik Angkeran yang merupakan pedoman bagi para keturunan Aria Wirarāja yang menamakan dirinya Aria Wang Bang Pinatih. Oleh karena itu, dikemukakan juga beberapa versi dan kelahiran tokoh Aria Wirarāja sesuai dengan tradisi tulis dan lisan setempat.




(Sumber foto : Wikipedia)



[1] Lihat J. Padmapuspita, Pararaton, 1966, hlm. 27 dan 70., Slamet Muljana, Pemugaran Persada Tanah Leluhur Majapahit, 1983, hlm. 111-113.
[2]  Sejarawan D.G.E. Hall, seorang profesor emeritus sejarah Asia Tenggara dan London University, menyebutkan beberapa daerah yang disinyalir sebagai bentangan pertahanan alami Singhasari seperti Pahang (Malaysia), Bakulapura (Kalimantan), serta Madura dan Bali. Secara geopolitik, Madura merupakan basis strategis untuk membendung serangan Mongol terutama yang lewat dari Laut Jawa.
[3] Lihat Slamet Muljana, op.cit., 1983, hlm. 107.
[4] Slamet Muljana, Nagarakretagama dan Tafsir Sejarahnya, 2005, hlm. 202.